Reformasi oleh Luther dan Tantangannya
Penyebab timbulnya pembaruan gereja ialah adanya perbedaan antara teologi serta praktik gereja dengan ajaran Alkitab yang menimbulkan adanya kritik dan usaha-usaha untuk mereformasi gereja yang telihat pada akhir abad pertengahan, dan memuncak semenjak Luther mengemukakan kritik tentang kesenjangan antara kebenaran Alkitab dan praktik gereja yang ia temui.
2.1 Perbedaan Konsep
Istilah “Reformasi” dipergunakan dalam banyak arti dan karena itu perlu dilihat perbedaan-perbedaannya. Ada empat unsur yang terdapat dalam definisi tentang Reformasi (Lutheranisme, Gereja Reformed/Calvinisme, Reformasi Radikal/Anabaptisme, dan Kontra-Reformasi/Reformasi Katolik). Namun pada banyak karya ilmiah, istilah Reformasi biasanya dihubungkan dengan Gerakan Protestantisme Lutheran (dan Calvinis) tanpa Anabaptisme Lutheran seperti Menno Simons (1496-1559) di Muenster.
Terdapat perbedaan di antara Lutheran (dan Gereja Reformed/Calvinis) atau yang sering disebut reformasi magisterial atau reformasi arus utama dengan Anabaptisme (sering disebut sebagai reformasi radikal), karena beberapa hal, yaitu:
Para tokoh reformasi arus utama / magisterial (yakni Lutheran dan Calvinis) menciptakan hubungan dengan para pemerintahan Negara / sekuler seperti para raja / pangeran, hakim, politisi, dewan kota, dsb., dalam upaya memperjuangkan reformasi yang bersumber dari berita Alkitab. Mereka boleh turut mencampuri urusan gereja sepanjang menegakkan keadilan dan memperjuangkan kebenaran Alkitab.
Para tokoh reformasi radikal (seperti kaum Anabaptis) melihat para pemerintah Negara / sekuler sebagai pihak yang tidak punya hak apapun di dalam gereja. Bagi mereka, gereja dan dunia adalah dua hal yang tidak berhubungan bahkan bertentangan.
2.2 Reformasi oleh Martin Luther
Reformasi Luther secara khusus dikaitkan dengan wilayah-wilayah Jerman di bawah pengaruh pribadi yang mendalam dari seorang yang berkharisma yaitu Marthin Luther. Reformasi oleh Luther pada awalnya berbentuk reformasi akademis yang terutama berkenaan dengan pembaruan pengajaran teologi di Universitas Wittenberg.
Reformasi Luther bermula dari pergumulannya mengenai doktrin “pembenaran” yang ia lakukan melalui studi akademik di Universitas Wittenberg. Ketika ia memasang 95 dalil di pintu gereja Wittenberg pada 31 Oktober 1517, menyebabkan gelombang pengaruhnya makin meluas. Apa lagi ketika ia harus menghadapi sidang kekaisaran di Worms (1521) akibat dalil-dalilnya. Gereja Roma dan Negara Jerman mengutuk dan mengucilkan Luther, akan tetapi Raja Frederik yang Bijaksana melindungi dia (Thomas Van Den End, HDB 2012:167). Sekembali dari sidang itu, ia diculik palsu oleh Frederik yang Bijaksana lalu disembunyikan di benteng Wartburg. Sementara dalam persembunyian selama 9 bulan, ia banyak menulis termasuk terjemahan dan uraian Alkitab. Dalam masa itu, Andreas Bodenstein von Karlstadt, dekan Fakultas Teologi Universitas Wittenberg sekaligus seorang teman Luther mengaplikasikan pandangan Luther tapi ternyata hanya menimbulkan kekacauan akibat ketidakmampuannya. Akhirnya pada tahun 1522, Luther keluar dari persembunyiannya dan melakukan penataan gereja di Wittenberg. Pada titik ini, pembaruan Luther berubah dari dunia ide-ide akademik menjadi pembaruan gereja dan masyarakat; pembaruan keagamaan, social dan politik. Melalui studi Alkitab dengan terjemahan yang akurat ia menemukan bahwa hanya ada dua sakramen yang diselenggarakan oleh Gereja zaman Perjanjian Baru, yakni: Baptisan dan Ekaristi. Dengan kata lain adanya 7 sakramen dalam GRK itu keliru. Apa yang diajarkan bahwa Paus tidak bisa keliru dalam menafsir Alkitab, ternyata tidak tepat. Paus bisa keliru, bahkan konsili juga pun bisa keliru dalam mengambil keputusan. Buktinya: Konsili Konstans (1414-1418) yang memutuskan menghukum bakar hidup-hidup John Huss. Karena ajaran Alkitab tentang “Imamat Am orang percaya” berarti setiap anggota gereja adalah imam di hadapan Allah. Karena itu tidak perlu ada imam yang menjadi perantara antara Allah dengan anggota gereja. Setiap orang percaya dapat langsung berdiri di hadapan Allah, mengaku dosa atau memohon sesuatu. Dengan demikian, kedudukan setiap orang itu adalah sama, sederajat. Itu berarti paus juga tidak boleh mendominasi atau merasa lebih tinggi dari kaisar dan para raja.
Luther meringkaskan reformasinya dengan: sola fide, sola gratia, dan sola scriptura. Manusia dibenarkan hanya oleh karena iman. Iman itu adalah anugerah Allah, dan semuanya itu harus hanya berdasar pada Alkitab.
2.3 Munculnya Istilah “Protestan”
Istilah Protestant muncul sebagai hasil dari Sidang Umum Kedua di Speyer (Februari 1529) oleh Pemerintah (Kaisar Karel V). Tiap kerajaan harus memutuskan gereja mana yang dipilihnya, dan pihak Gereja Roma Katolik mendapat kemenangan mutlak, Gereja Roma Katolik kemudian memutuskan bahwa Lutheranisme di Jerman tidak dapat lagi ditolerir, jadi harus dibasmi. Tapi pada bulan April 1529, 6 Pangeran (Philipp dari Hessen, Johann dari Sachen, Georg dari Brandenburg, Ernst dan Franz dari Luneburg, Wolfgang dari Anhal) dan 14 kota, di antaranya: Strasbourg, Nurnberg, Ulm dan Constanz yang pro kepada Reformasi memprotes keputusan tersebut. Mulai saat itulah, Pemerintah dan Gereja Roma Katolik menyebut kelompok ini sebagai kaum “Protestant”. Sebutan ini, dikenakan pada golongan yang memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma dan yang menuntut agar mereja diakui sebagai orang Kristen. Sebutan itu mula-mula sebagai nama ejekan tapi kelompok itu sendiri menganggapnya sebagai kehormatan, sama seperti sebutan “Kristen” pada beberapa decade awal tahun Masehi.
Bermula dari upaya untuk memperbaiki teologi yang ada di gereja karena ditemukannya kesenjangan antara realita praktik gereja dari kebenaran Alkitab, yang di mulai dari Universitas Wittenberg, muncullah gerakan reformasi di tengah-tengah gereja. Reformasi pun timbul dari kesadaran terhadap beberapa perbedaan konsep. Namun reformasi yang paling dikenal ialah reformasi arus utama (Lutheran) yang dilatarbelakangi dari pembaharuan Luther terhadap teologi dan praktik gereja. Luther melakukan Reformasi, tetapi bukan ia yang mendirikan aliran Lutheran. Ia hanya merumuskan pandangan-pandangan yang sesuai dengan kebenaran Alkitab yang ia temui. Istilah Protestan sendiri lahir sebagai bentuk ejekkan serta penolakkan dari Gereja Roma Katolik. Ini menunjukkan bahwa ada tantangan-tantangan yang dihadapi gereja Protestan pada masa reformasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
McGrath, Alister., Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Moningka, Edmond Ch., Highlights Sejarah Gereja, Tondano: Balai Buku Zaitun, 2009.
Moningka, Edmond Ch., Highlights Sejarah Reformasi, Jakarta: Christian Ecumenical
Vision, 2015.
Van den End, Thomas., Harta Dalam Bejana. Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2012.
Wellem , F. D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
2.1 Perbedaan Konsep
Istilah “Reformasi” dipergunakan dalam banyak arti dan karena itu perlu dilihat perbedaan-perbedaannya. Ada empat unsur yang terdapat dalam definisi tentang Reformasi (Lutheranisme, Gereja Reformed/Calvinisme, Reformasi Radikal/Anabaptisme, dan Kontra-Reformasi/Reformasi Katolik). Namun pada banyak karya ilmiah, istilah Reformasi biasanya dihubungkan dengan Gerakan Protestantisme Lutheran (dan Calvinis) tanpa Anabaptisme Lutheran seperti Menno Simons (1496-1559) di Muenster.
Terdapat perbedaan di antara Lutheran (dan Gereja Reformed/Calvinis) atau yang sering disebut reformasi magisterial atau reformasi arus utama dengan Anabaptisme (sering disebut sebagai reformasi radikal), karena beberapa hal, yaitu:
Para tokoh reformasi arus utama / magisterial (yakni Lutheran dan Calvinis) menciptakan hubungan dengan para pemerintahan Negara / sekuler seperti para raja / pangeran, hakim, politisi, dewan kota, dsb., dalam upaya memperjuangkan reformasi yang bersumber dari berita Alkitab. Mereka boleh turut mencampuri urusan gereja sepanjang menegakkan keadilan dan memperjuangkan kebenaran Alkitab.
Para tokoh reformasi radikal (seperti kaum Anabaptis) melihat para pemerintah Negara / sekuler sebagai pihak yang tidak punya hak apapun di dalam gereja. Bagi mereka, gereja dan dunia adalah dua hal yang tidak berhubungan bahkan bertentangan.
2.2 Reformasi oleh Martin Luther
Reformasi Luther secara khusus dikaitkan dengan wilayah-wilayah Jerman di bawah pengaruh pribadi yang mendalam dari seorang yang berkharisma yaitu Marthin Luther. Reformasi oleh Luther pada awalnya berbentuk reformasi akademis yang terutama berkenaan dengan pembaruan pengajaran teologi di Universitas Wittenberg.
Reformasi Luther bermula dari pergumulannya mengenai doktrin “pembenaran” yang ia lakukan melalui studi akademik di Universitas Wittenberg. Ketika ia memasang 95 dalil di pintu gereja Wittenberg pada 31 Oktober 1517, menyebabkan gelombang pengaruhnya makin meluas. Apa lagi ketika ia harus menghadapi sidang kekaisaran di Worms (1521) akibat dalil-dalilnya. Gereja Roma dan Negara Jerman mengutuk dan mengucilkan Luther, akan tetapi Raja Frederik yang Bijaksana melindungi dia (Thomas Van Den End, HDB 2012:167). Sekembali dari sidang itu, ia diculik palsu oleh Frederik yang Bijaksana lalu disembunyikan di benteng Wartburg. Sementara dalam persembunyian selama 9 bulan, ia banyak menulis termasuk terjemahan dan uraian Alkitab. Dalam masa itu, Andreas Bodenstein von Karlstadt, dekan Fakultas Teologi Universitas Wittenberg sekaligus seorang teman Luther mengaplikasikan pandangan Luther tapi ternyata hanya menimbulkan kekacauan akibat ketidakmampuannya. Akhirnya pada tahun 1522, Luther keluar dari persembunyiannya dan melakukan penataan gereja di Wittenberg. Pada titik ini, pembaruan Luther berubah dari dunia ide-ide akademik menjadi pembaruan gereja dan masyarakat; pembaruan keagamaan, social dan politik. Melalui studi Alkitab dengan terjemahan yang akurat ia menemukan bahwa hanya ada dua sakramen yang diselenggarakan oleh Gereja zaman Perjanjian Baru, yakni: Baptisan dan Ekaristi. Dengan kata lain adanya 7 sakramen dalam GRK itu keliru. Apa yang diajarkan bahwa Paus tidak bisa keliru dalam menafsir Alkitab, ternyata tidak tepat. Paus bisa keliru, bahkan konsili juga pun bisa keliru dalam mengambil keputusan. Buktinya: Konsili Konstans (1414-1418) yang memutuskan menghukum bakar hidup-hidup John Huss. Karena ajaran Alkitab tentang “Imamat Am orang percaya” berarti setiap anggota gereja adalah imam di hadapan Allah. Karena itu tidak perlu ada imam yang menjadi perantara antara Allah dengan anggota gereja. Setiap orang percaya dapat langsung berdiri di hadapan Allah, mengaku dosa atau memohon sesuatu. Dengan demikian, kedudukan setiap orang itu adalah sama, sederajat. Itu berarti paus juga tidak boleh mendominasi atau merasa lebih tinggi dari kaisar dan para raja.
Luther meringkaskan reformasinya dengan: sola fide, sola gratia, dan sola scriptura. Manusia dibenarkan hanya oleh karena iman. Iman itu adalah anugerah Allah, dan semuanya itu harus hanya berdasar pada Alkitab.
2.3 Munculnya Istilah “Protestan”
Istilah Protestant muncul sebagai hasil dari Sidang Umum Kedua di Speyer (Februari 1529) oleh Pemerintah (Kaisar Karel V). Tiap kerajaan harus memutuskan gereja mana yang dipilihnya, dan pihak Gereja Roma Katolik mendapat kemenangan mutlak, Gereja Roma Katolik kemudian memutuskan bahwa Lutheranisme di Jerman tidak dapat lagi ditolerir, jadi harus dibasmi. Tapi pada bulan April 1529, 6 Pangeran (Philipp dari Hessen, Johann dari Sachen, Georg dari Brandenburg, Ernst dan Franz dari Luneburg, Wolfgang dari Anhal) dan 14 kota, di antaranya: Strasbourg, Nurnberg, Ulm dan Constanz yang pro kepada Reformasi memprotes keputusan tersebut. Mulai saat itulah, Pemerintah dan Gereja Roma Katolik menyebut kelompok ini sebagai kaum “Protestant”. Sebutan ini, dikenakan pada golongan yang memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma dan yang menuntut agar mereja diakui sebagai orang Kristen. Sebutan itu mula-mula sebagai nama ejekan tapi kelompok itu sendiri menganggapnya sebagai kehormatan, sama seperti sebutan “Kristen” pada beberapa decade awal tahun Masehi.
Bermula dari upaya untuk memperbaiki teologi yang ada di gereja karena ditemukannya kesenjangan antara realita praktik gereja dari kebenaran Alkitab, yang di mulai dari Universitas Wittenberg, muncullah gerakan reformasi di tengah-tengah gereja. Reformasi pun timbul dari kesadaran terhadap beberapa perbedaan konsep. Namun reformasi yang paling dikenal ialah reformasi arus utama (Lutheran) yang dilatarbelakangi dari pembaharuan Luther terhadap teologi dan praktik gereja. Luther melakukan Reformasi, tetapi bukan ia yang mendirikan aliran Lutheran. Ia hanya merumuskan pandangan-pandangan yang sesuai dengan kebenaran Alkitab yang ia temui. Istilah Protestan sendiri lahir sebagai bentuk ejekkan serta penolakkan dari Gereja Roma Katolik. Ini menunjukkan bahwa ada tantangan-tantangan yang dihadapi gereja Protestan pada masa reformasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
McGrath, Alister., Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Moningka, Edmond Ch., Highlights Sejarah Gereja, Tondano: Balai Buku Zaitun, 2009.
Moningka, Edmond Ch., Highlights Sejarah Reformasi, Jakarta: Christian Ecumenical
Vision, 2015.
Van den End, Thomas., Harta Dalam Bejana. Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2012.
Wellem , F. D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Comments
Post a Comment